Pages

Kamis, 16 Mei 2013

Kualitas Tidur


A.    Definisi
Kualitas tidur adalah karakter tidur yang penting yang diperlihatkan oleh individu. Kualitas tidur merupakan penilaian individu mengenai kenyenyakan tidur, persepsi tentang pergerakan selama tidur dan pengkajian umum dari kualitas tidur (Ouellet, 1995).
Kualitas tidur yang baik diperlihatkan dengan mudahnya seseorang memulai tidur saat jam tidur, mempertahankan tidur, menginisiasi untuk tidur kembali setelah terbangun di malam hari, dan peralihan dari tidur ke bangun di pagi hari dengan mudah (LeBourgeois et al., 2005 cit. Saputri, 2009).
B.     Komponen kualitas tidur
Kualitas tidur dapat diukur dengan menggunakan PSQI yang terdiri dari tujuh komponen, yaitu:
1.      Kualitas tidur
Evaluasi kualitas tidur secara subjektif merupakan evaluasi singkat terhadap tidur seseorang tentang apakah tidurnya sangat baik atau sangat buruk (Saputri, 2009).
2.      Latensi tidur
Latensi tidur adalah durasi mulai dari berangkat tidur hingga tertidur. Seseorang dengan kualitas tidur baik menghabiskan waktu kurang dari 15 menit untuk dapat memasuki tahap tidur selanjutnya secara lengkap. Sebaliknya, lebih dari 20 menit menandakan level insomnia yaitu seseorang yang mengalami kesulitan dalam memasuki tahap tidur selanjutnya (Buysse et al., 1989 cit. Modjod, 2007).
3.      Durasi tidur
Durasi tidur dihitung dari waktu seseorang tidur sampai terbangun di pagi hari tanpa menyebutkan terbangun pada tengah malam. Orang dewasa yang dapat tidur selama lebih dari 7 jam setiap malam dapat dikatakan memiliki kualitas tidur yang baik (Buysse et al., 1989 cit. Modjod, 2007).
4.      Efisiensi kebiasaan tidur
Efisiensi kebiasaan tidur adalah rasio persentase antara jumlah total jam tidur dibagi dengan jumlah jam yang dihabiskan di tempat tidur. Seseorang dikatakan mempunyai kualitas tidur yang baik apabila efisiensi kebiasaan tidurnya lebih dari 85% (Buysse et al., 1989 cit. Modjod, 2007).
5.      Gangguan tidur
Gangguan tidur merupakan kondisi terputusnya tidur yang mana pola tidur-bangun seseorang berubah dari pola kebiasaannya, hal ini menyebabkan penurunan baik kuantitas maupun kualitas tidur seseorang (Buysse et al., 1989 cit. Modjod, 2007).
6.      Penggunaan obat
Penggunaan obat-obatan yang mengandung sedatif mengindikasikan adanya masalah tidur. Obat-obatan mempunyai efek terhadap terganggunya tidur pada tahap REM. Oleh karena itu, setelah mengkonsumsi obat yang mengandung sedatif, seseorang akan dihadapkan pada kesulitan untuk tidur yang disertai dengan frekuensi terbangun di tengah malam dan kesulitan untuk kembali tertidur, semuanya akan berdampak langsung terhadap kualitas tidurnya (Buysse et al., 1989 cit. Modjod, 2007).
7.      Disfungsi di siang hari
Seseorang dengan kualitas tidur yang buruk menunjukkan keadaan mengantuk ketika beraktivitas di siang hari, kurang antusias atau perhatian, tidur sepanjang siang, kelelahan, depresi, mudah mengalami distres, dan penurunan kemampuan beraktivitas (Buysse et al., 1989 cit. Modjod, 2007).
DAFTAR PUSTAKA
Modjod, D. 2007. Insomnia Experience, Management Strategies, and Outcomes in ESRD Patients Undergoing Hemodialysis [Tesis]. Mahidol University.
Ouellet, M.T.N. 1995. Sleep Satisfaction of Older Adult Living in the Community and Related Factors [Tesis]. Case Western Reserve University, Frances.
Saputri, D. 2009. Hubungan antara Sleep Hygiene dengan Kualitas Tidur pada Lanjut Usia di Dusun Sendowo, Kelurahan Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta [Skripsi]. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tidur


A.    Definisi
Tidur didefinisikan sebagai keadaan tidak sadar yang dapat dibangunkan dengan rangsangan tertentu (Hall, 2011). Tidur merupakan siklus fisiologis yang bergantian dengan periode bangun yang panjang. Siklus tidur dan bangun mempengaruhi dan mengatur fungsi tubuh dan respon perilaku (Potter dan Perry, 2007).
B.     Fase tidur
Tidur yang normal terdiri dari dua fase yaitu non-rapid eye movement (NREM) dan rapid eye movement (REM). Fase NREM berkembang melalui 4 tahap yang berlangsung selama 90 menit. Kualitas tidur mulai dari tahap 1 sampai dengan tahap 4 menjadi semakin dalam. Tidur ringan merupakan karakteristik tahap 1 dan 2, dimana seseorang dapat dibangunkan dengan mudah. Tahap 3 dan 4 melibatkan tidur dalam yang disebut dengan tidur gelombang lambat di mana pada tahap ini sesorang menjadi lebih sulit untuk dibangunkan (Potter dan Perry, 2007). Tidur NREM merupakan tidur yang sangat tenang yang berhubungan dengan penurunan berbagai fungsi vegetatif tubuh seperti tekanan darah, kecepatan pernapasan dan laju metabolik basal ( Hall, 2011).
 Periode pertama tidur REM terjadi 80 sampai 100 menit setelah orang tersebut tertidur. Pada tidur malam yang normal, fase tidur REM berlangsung 5 sampai 20 menit dan rata-rata timbul setiap 90 menit (Guyton, 1990). Selama fase REM terdapat peningkatan aktivitas otak yang berhubungan dengan gerakan bola mata yang cepat dan atonia otot (Potter dan Perry, 2007). Tidur REM bukan merupakan tidur yang begitu menenangkan  dan biasanya berhubungan dengan mimpi yang jelas (Hall, 2011).


C.    Efek fisiologis tidur
Tidur menyebabkan dua jenis efek fisilogis utama yaitu efek pada sistem saraf dan efek pada struktur tubuh lainnya. Keadaan waspada yang lama sering disertai dengan malfungsi progresif dari pikiran dan aktivitas sistem saraf. Proses berpikir yang lambat dapat terjadi pada akhir periode waspada yang lama. Selain itu, orang dapat menjadi lekas marah atau bahkan psikotik setelah dipaksa untuk tetap terjaga dalam waktu yang lama (Guyton, 1990).
Tidur memiliki berbagai fungsi diantaranya untuk maturasi saraf, memfasilitasi belajar atau daya ingat, fungsi kognitif, dan penyimpanan energi metabolik (Hall, 2011). Selama tidur aktivitas simpatis turun sedangkan aktivitas parasimpatis kadang-kadang meningkat dan tonus otot hampir nol. Oleh karena itu, selama tidur tekanan darah arteri turun, kecepatan nadi turun, pembuluh kulit berdilatasi, kegiatan traktus gastro intestinalis kadang-kadang meningkat, otot-otot mengalami keadaan istirahat sempurna, dan seluruh laju metabolik basal tubuh turun kira-kira 10 sampai 20 persen (Guyton, 1990).
D.    Faktor yang mempengaruhi tidur
1)      Penyakit fisik
Penyakit atau kondisi yang menyebabkan nyeri, kesulitan bernafas, mual, atau gangguan alam perasaan seperti cemas maupun depresi dapat menyebabkan gangguan tidur. Individu dengan kondisi demikian biasanya mengalami kesulitan dalam memulai ataupun mempertahankan tidur (Potter dan Perry, 2007).
2)      Penggunaan obat atau zat tertentu
Beberapa obat dapat menimbulkan efek samping seperti rasa kantuk, insomnia, atau rasa lelah. Obat yang diresepkan untuk mengatasi gangguan tidur biasanya menimbulkan lebih banyak efek negatif dibandingkan manfaatnya. L-Tryptophan merupakan protein alami yang terkandung dalam makanan seperti susu, keju, dan daging yang dapat membantu seseorang untuk tidur (Potter dan Perry, 2007).
3)      Gaya hidup
Rutinitas harian seseorang dapat mempengaruhi pola tidur. Misalnya individu yang bekerja pada shift siang dan malam secara bergantian biasanya mengalami kesulitan untuk menyesuaikan waktu tidur (Potter dan Perry, 2007).
4)      Stres emosional
Kekhawatiran terhadap masalah personal maupun situasi dapat mempengaruhi tidur. Stres emosional dapat menyebabkan seseorang berupaya terlalu keras untuk dapat tertidur, sering terbangun saat siklus tidur, maupun tidur terlalu lama. Stres yang berkepanjangan dapat menyebabkan kebiasaan tidur yang buruk (Potter dan Perry, 2007).
5)      Lingkungan
Lingkungan fisik di mana seseorang tidur dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk memulai dan mempertahankan tidur. Ventilasi yang baik, temperatur yang nyaman, dan ruangan yang redup penting untuk mencapai kualitas tidur yang baik (Potter dan Perry, 2007).
6)      Suara
Kebisingan mempengaruhi tidur dengan mengurangi aktivitas REM (Honkus, 2003 cit Potter & Perry, 2007). Suara dapat mengganggu tidur lansia dengan mudah karena tidur mereka sebagian besar terdiri dari fase tidur ringan. Sebagian orang memilih keadaan yang hening untuk tidur, namun sebagian lain memilih tidur dengan mendengarkan suara seperti musik maupun televisi (Potter dan Perry, 2007).
7)      Aktivitas fisik dan kelelahan
Seseorang dengan tingkat lelah yang sedang biasanya dapat tidur dengan tenang, terutama jika lelah disebabkan karena pekerjaan atau aktivitas yang menyenangkan. Namun rasa lelah berlebihan yang disebabkan karena pekerjaan atau aktivitas yang penuh stres dapat menyebabkan seseorang mengalami kesulitan untuk memulai tidur (Potter dan Perry, 2007).
8)      Asupan kalori dan makanan
Mengkonsumsi makanan dalam jumlah besar 3-4 jam sebelum tidur dapat menyebabkan indigesti yang dapat mengganggu tidur. Konsumsi alkohol pada malam hari dapat menyebabkan insomnia dan efek diuretik. Kopi, teh, cola, dan coklat yang mengandung kafein dan xanthin dapat menghambat rasa kantuk sebagai akibat dari stimulasi CNS (Potter dan Perry, 2007).
DAFTAR PUSTAKA

Guyton, A.C. 1990. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. 3rd Ed. Jakarta: EGC.
Hall, J.E. 2011. Guyton and Hall Textbook of Medica Physiology. 12th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier.
Potter, Perry. 2007. Basic Nursing Essentials for Practise. 6th Ed. Canada: Mosby Elsevier.

Lansia

A.    Definisi
Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan (Pudjiastuti, 2003 cit. Efendi, 2009). Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress fisiologis yang berkaitan dengan penurunan kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Hawari, 2001 cit. Efendi, 2009).
B.     Batasan umur lanjut usia
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia disebutkan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas baik yang masih mampu malakukan pekerjaan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan/atau jasa (potensial) maupun yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga kehidupannya bergantung pada orang lain (tidak potensial).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2009, penduduk usia lanjut dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kelompok usia prasenilis (45-59 tahun), kelompok usia lanjut (60 tahun ke atas) dan kelompok usia risiko tinggi (70 tahun ke atas atau usia 60 tahun ke atas dengan masalah kesehatan).
Menurut World Health Organization (WHO), lanjut usia dibagi menjadi empat kelompok yaitu usia pertengahan atau middle age (45-59 tahun), lanjut usia atau elderly (60-74 tahun), lanjut usia tua atau old ( 75-90 tahun), dan usia sangat tua atau very old (di atas 90 tahun).
C.    Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia
1.      Perubahan fisik
a.       Sel. Pada lansia,  jumlah selnya akan berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh dan cairan intraseluler menurun (Maryam, 2008).
b.      Sistem persarafan. Rata-rata berkurangnya saraf neocortical sebesar 1 per detik. Hubungan persarafan cepat menurun, lambat dalam mersepon baik dari gerakan maupun jarak waktu, khususnya dengan stres, mengecilnya saraf pancaindra, serta menjadi kurang sensitive terhadap sentuhan (Efendi, 2009).
c.       Sistem pendengaran. Membrane timpani atrofi sehingga terjadi gangguan pendengaran. Tulang-tulang pendengaran mengalami kekakuan (Maryam, 2008).
d.      Sistem penglihatan. Timbul sklerosis pada sfingter pupil dan hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih berbentuk seperti bola (sferis), lensa lebih suram (keruh) dapat menyebabkan katarak, hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapang pandang, dan menurunnya daya untuk membedakan antara warna biru dengan hijau pada skala pemeriksaan (Efendi, 2009).
e.       Kardiovaskular. Katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa darah menurun (menurunnya kontraksi dan volume), elastisitas pembuluh darah menurun, serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat (Maryam, 2008).
f.       Sistem pernapasan. Otot-otot pernapasan kehilangan kekuatan dan manjadi kaku, menurunnya aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan elastisitas sehingga kapasitas residu meningkat, menarik napas lebih berat, kapasitas pernapasan maksimum menurun, dan kedalaman napas menurun (Efendi, 2009). Alveoli melebar dan jumlahnya menurun, kemampuan batuk menurun, serta terjadi penyempitan pada bronkus (Maryam, 2008).
g.      Sistem muskuloskeletal. Tulang kehilangan kepedatannya (density) dan semakin rapuh, kifosis, persendian membesar dan menjadi kaku, tendon mengerut dan mengalami sklerosis, atrofi serabut otot sehingga gerak seseorang menjadi lambat, otot-otot kram dan menjadi tremor (Efendi, 2009).
h.      Gastrointestinal. Esophagus melebar, asam lambung menurun, peristaltic menurun sehingga daya absorpsi juga menurun. Ukuran lambung mengecil serta fungsi organ aksesori menurun sehingga menyebabkan berkurangnya produksi hormone dan enzim pencernaan (Maryam, 2008).
i.        Sistem genitourinaria. Ginjal mengecil, aliran darah ke ginjal menurun, penyaringan di glomerulus menurun, dan fungsi tubulus menurun sehingga kemampuan ginjal untuk mengonsentrasikan urine juga menurun (Maryam, 2008). Otot-otot kandung kemih melemah, kapasitasnya menurun hingga 200 ml dan menyebabkan frekuensi buang air kecil meningkat, kandung kemih sulit dikosongkan sehingga meningkatkan retensi urine (Efendi, 2009).
j.        Sistem endokrin. Menurunnya produksi ACTH, TSH, FSH, dan LH, aktivitas tiroid, BMR, daya pertukaran gas, produksi aldosteron, serta sekresi hormon kelamin seperti progesterone, esterogen, dan testosterone (Efendi, 2009).
k.      Sistem integumen. Kulit menjadi keriput, kulit kepala dan rambut menipis, rambut dalam hidung dan telinga menebal, elastisitas menurun, vaskularisasi menurun, rambut memutih, kelenjar keringat menurun, kuku keras dan rapuh (Maryam, 2008).
2.      Perubahan mental
Faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah perubahan fisik, kesehatan umum, tingkat pendidikan, hereditas, lingkungan, tingkat kecerdasan, dan kenangan (memori) (Efendi, 2009). Kemampuan belajar pada lansia masih ada tetapi relative menurun (Maryam, 2008).
3.      Perubahan psikososial
Pada masa pensiun lansia akan kehilangan sumber finansial, kehilangan status, relasi, dan pekerjaan, dan merasakan atau kesadaran akan kematian (Efendi, 2009). Perubahan psikologis pada lansia meliputi short term memory, frustrasi, kesepian, takut kehilangan kebebasan, takut menghadapi kematian, perubahan keinginan, depresi, dan kecemasan (Maryam, 2008).

DAFTAR PUSTAKA
Maryam, R. S., Ekasari, M. F., Rosidawati, Jubaedi, A., Batubara, I. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika.
Efendi, F., Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Depkes. 2009. Data Penduduk Sasaran Program Pembangunan Kesehatan 2007-2011. Departemen Kesehatan RI.

Rabu, 15 Mei 2013

Osteoarthritis


a.       Definisi
Osteoarthritis adalah suatu gangguan persendian yang disebabkan karena berkurangnya tulang rawan sendi dan terjadi hipertrofi tulang hingga terbentuk osteofit atau tonjolan tulang pada permukaan sendi (Yatim, 2008). Osteoarthritis yang juga dikenal sebagai penyakit sendi degeneratif merupakan kelainan sendi yang paling sering ditemukan dan seringkali menimbulkan ketidakmampuan (Smeltzer dan Bare, 2002).
Osteoarthritis berkembang dengan perlahan, namun merupakan penyakit aktif dari degenerasi tulang rawan sendi dan berhubungan dengan gejala nyeri pada persendian, kekakuan, dan keterbatasan gerak. Osteoarthritis dapat terjadi pada berbagai sendi, namun lebih sering terjadi pada pangkal paha, lutut, sendi pada tangan, kaki, dan tulang belakang (Pearson, 2008).
Workshop on Etiopathogenesis of Osteoarthritis (1986) cit. Brandt et al.(2003) mendefinisikan osteoarthritis dengan merangkum perubahan klinis, patofisiologi, histologis, biomekanik, dan biokimia yang merupakan karakteristik dari osteoarthritis. Secara klinis, penyakit ini ditandai dengan nyeri sendi, tenderness, keterbatasan gerak, krepitasi, efusi okasional, dan derajat yang bervariasi dari inflamasi lokal, namun tanpa efek sistemik. Berdasarkan patofisiologi, penyakit ini ditandai dengan hilangnya kartilago yang lebih sering terjadi pada area yang menumpu beban berat, sklerosis tulang subkondral, kista subkondral, peningkatan aliran darah metaphyseal, dan inflamasi synovial. Secara histologis, penyakit ini ditandai dengan pemecahan dini permukaan kartilago, kloning kondrosit, pemecahan vertikal pada kartilago, endapan kristal, dan remodelling. Secara biomekanik, penyakit ini ditandai dengan perubahan daya regang, tekanan dan permeabilitas hidraulik kartilago, peningkatan air, dan bengkak yang berlebih. Perubahan kartilago tersebut disertai dengan peningkatan kekakuan tulang subkondral. Secara biokimia, penyakit ini ditandai dengan pengurangan konsentrasi proteoglycans, perubahan ukuran dan agregasi proteoglycans, perubahan ukuran kolagen fibril, dan peningkatan sintesis dan degradasi matriks makromolekul.
b.      Epidemiologi
Prevalensi osteoarthritis meningkat seiring dengan usia (Pearson, 2008). Penambahan usia berhubungan langsung dengan proses degeneratif dalam sendi, mengingat kemampuan kartilago artikuler untuk bertahan terhadap mikrofraktur dengan beban muatan rendah yang berulang-ulang mengalami penurunan. Osteoarthritis sering dimulai pada dekade usia ketiga, dan mencapai puncaknya di antara dekade kelima dan keenam (Smeltzer dan Bare, 2002). Lebih dari 75% orang dengan usia di atas 70 tahun menunjukan bukti radiografi adanya osrteoarthritis (Pearson, 2008).
Osteoarthritis lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. Sebelum usia 50 tahun pria memiliki prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan wanita, namun setelah usia 50 tahun wanita memiliki prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan pria. Hal ini disebabkan karena defisiensi hormon esterogen post-menopause yang berperan dalam peningkatan risiko terjadinya osteoarthritis pada wanita (Yatim, 2008). WHO memperkirakan 9,6% pria dan 18% wanita di seluruh dunia dengan usia lebih dari 60 tahun memiliki gejala osteoarthritis (Pearson, 2008).
c.       Diagnosis osteoarthritis
 Diagnosis osteoarthritis lutut ditegakkan berdasarkan klasifikasi dari  American College of Rheumatology (ACR).
Tabel Kriteria diagnosis osteoarthritis lutut menurut The American College of Rheumatology (ACR) 1986
Klinis dan laboratoris
Klinis dan radiologis
Klinis
Nyeri lutut ditambah sedikitnya lima dari sembilan hal berikut ini:
-          Usia >50 tahun
-          Kekakuan <30 menit
-          Krepitasi
-          Nyeri tulang
-          Pembengkakan tulang
-          Perabaan tidak hangat
-          LED <40 mm/jam
-          RF < 1:40
-          Tanda cairan sinovia OA
Nyeri lutut ditambah sedikitnya satu dari tiga hal berikut ini:
-          Usia >50 tahun
-          Kekakuan <30 menit
-          Krepitasi + osteofit

Nyeri lutut ditambah sedikitnya tiga dari enam hal berikut ini:
-          Usia > 50 tahun
-          Kekakuan <30 menit
-          Krepitasi
-          Nyeri tulang
-          Pembengkakan tulang
-          Perabaan tidak hangat

92% sensitif
75% spesifik
91% sensitive
86% spesifik
95% sensitif
69% spesifik
Keterangan : LED: laju endap darah (Westergen); RF: rhematoid factor, tanda cairan sendi osteoarthritis adalah jernih, viskus, atau hitung sel darah putih kurang dari 2.000/mm3
(sumber : IRA, 2004 cit. Hudiyanti, 2007)


DAFTAR PUSTAKA

Brandt, K.D., Doherty, M., Lohmander, L.S. 2003. Osteoarthritis, Second edition. New York : Oxford University Press Inc.
Hudiyanti, V. 2007. Pengaruh Kurkuminoid Ekstrak Rimpang Kunyit (Curcuma domestica Val) dibandingkan dengan Natrium Diklofenak pada Penderita Osteoartritis Lutut (Kajian Kemampuan Menekan Sekresi Tumor Necrosis Factor-α oleh Monosit Cairan Sendi) [Tesis]. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Pearson, D., Miller, C.G. 2008. Clinical Trial in Rheumatoid Arthritis and Osteoarthritis. Newtown: Springer.
Smeltzer, S.C., Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. 8th Ed. Jakarta: EGC.
Yatim, F. 2008. Penyakit Tulang dan Persendian (Arthritis atau Arthralgia). Jakarta: Pustaka Populer Obor.